WARTA
KOTA, BOGOR - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga sengketa
perasuransian yang melibatkan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mengandung
modus umum perusahaan asuransi untuk merugikan konsumen
"Kenapa
kami katakan begitu, karena hampir semua kasus asuransi yang terjadi itu
disebabkan penolakan klaim. Kita duga ini adalah modus," ujar Staf Bidang
Pengaduan dan Hukum YLKI, Mustafa, Senin (6/11/2017).
Modus
pertama, jelasnya, sering ada informasi di dalam polis asurasi yang tidak
disampaikan kepada konsumen. Konsumen yang membaca sejatinya tidak memahami isi
polis karena berisi bahasa hukum dan bahasa asuransi yang
sulit dipahami.
"Kalau
di negara lain, untuk penandatanganan polis disediakan pendamping atau lawyer
untuk memahami isi polis," ujarnya.
Kedua,
ada beberapa regulasi yang ikut diberlakukan tetapi tidak dituangkan dalam
polis. Misalnya, dalam polis aturan yang berlaku adalah A, padahal ada aturan
turunan berupa A1, A2 dan A3. Ini tidak disampaikan secara clear kepada konsumen.
Ketiga,
klausul baku dalam polis memiliki celah hukum dan membuat konsumen dalam posisi
sangat lemah secara disadari maupun tidak disadari. Bahkan, kalangan pengacara
pun belum tentu sadar ada beberapa klausul dalam polis yang secara kasat mata
merugikan konsumen.
"Secara
khusus celah hukum ini akan dipakai ketika terjadi masalah entah karena klaim
atau apa," sebutnya.
Mustafa
juga mengkritik pihak asuransi yang
sangat mudah menerbitkan polis sehingga dan sangat mudah pula mempersoalkan
polis ketika ada pengajuan klaim.
"Sebenarnya
masalah utamanya ada di sebelum penandatanganan perjanjian. Bisnis asuransi itu
bisnis jual beli risiko, untuk aturan perdagangan risiko ini tahapan sebelumnya
jadi sangat penting. Konsumen dan pelaku usaha harus terbuka dan transparan.
Klausul yang tertuang maupun tidak, harus transparan," jelas dia.
Soal
argumentasi Manulife yang menolak klaim ahli waris karena ada ketidakbenaran
data dalam formulir pengajuan polis, seharusnya itu tidak boleh terjadi.
Apalagi si pemegang polis sudah meninggal dunia sejak 2016.
"Memang,
konsumen harus memiliki itikad baik dalam mengisi data saat pengajuan polis.
Tetapi, perusahaan asuransi kan diwajibkan mendeteksi keganjilan,
memverfikasi dan melakukan penilaian sebelum menerbitkan polis," tegasnya.
Mustafa
menganggap sengketa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan ahli waris
bernama Johan Solomon masuk dugaan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen.
"Kita
lihat lagi apakah ada pelangaran terhadap ketentuan, pelanggaran pelaku usaha,
dan menyinggung klausul baku. Tiga itu ada nuansa pidananya. Saya rasa ini
masuk UU Perlindungan Konsumen. Itu sudah jadi tugas kepolisian dan penyidik
untuk menangani," ucap Mustafa.
Contoh Kasus
Penyelesaian Sengketa Ekonomi PT Sara Lee Indonesia
Perusahaan
besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya.
Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat
Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik,
Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10). Aksi mogok kerja ini,
ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee
se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta
untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari
Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah. Dalam aksinya di depan pabrik, para
buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan
kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee
Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200
negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia.
Dengan
mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan
spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”,
“Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset
perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih
Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang
rendah. Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain
berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara
masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan,
Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda,
Lombok dan Aceh. Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi:
“Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat
aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan:
“Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami,
jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah
untuk Indonesia.” “Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari
pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak
tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan
kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut
namanya. Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus
melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan
menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak
dikabulkan,” sambungnya. Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi
mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh
pekerja.
Hingga
kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor,
Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu. Buruh lainnya
mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada
perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima
karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan,
memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo. Sara Lee merasa
malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan
perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena
manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai
pengabdian karyawan. Kesimpulan : Menurut saya, Manajemen PT. Saralee harus
berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik
kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan,
seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak
rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi
yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan
mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional
tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar