Sabtu, 14 Juli 2018

Kasus Perlindungan Konsumen dan Pesengketaan Ekonomi

Kasus PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Diduga Melanggar UU Perlindungan Konsumen
WARTA KOTA, BOGOR - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga sengketa perasuransian yang melibatkan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mengandung modus umum perusahaan asuransi untuk merugikan konsumen

"Kenapa kami katakan begitu, karena hampir semua kasus asuransi yang terjadi itu disebabkan penolakan klaim. Kita duga ini adalah modus," ujar Staf Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Mustafa, Senin (6/11/2017).

Modus pertama, jelasnya, sering ada informasi di dalam polis asurasi yang tidak disampaikan kepada konsumen. Konsumen yang membaca sejatinya tidak memahami isi polis karena berisi bahasa hukum dan bahasa asuransi yang sulit dipahami.

"Kalau di negara lain, untuk penandatanganan polis disediakan pendamping atau lawyer untuk memahami isi polis," ujarnya.

Kedua, ada beberapa regulasi yang ikut diberlakukan tetapi tidak dituangkan dalam polis. Misalnya, dalam polis aturan yang berlaku adalah A, padahal ada aturan turunan berupa A1, A2 dan A3. Ini tidak disampaikan secara clear kepada konsumen.

Ketiga, klausul baku dalam polis memiliki celah hukum dan membuat konsumen dalam posisi sangat lemah secara disadari maupun tidak disadari. Bahkan, kalangan pengacara pun belum tentu sadar ada beberapa klausul dalam polis yang secara kasat mata merugikan konsumen.
"Secara khusus celah hukum ini akan dipakai ketika terjadi masalah entah karena klaim atau apa," sebutnya.

Mustafa juga mengkritik pihak asuransi yang sangat mudah menerbitkan polis sehingga dan sangat mudah pula mempersoalkan polis ketika ada pengajuan klaim.

"Sebenarnya masalah utamanya ada di sebelum penandatanganan perjanjian. Bisnis asuransi itu bisnis jual beli risiko, untuk aturan perdagangan risiko ini tahapan sebelumnya jadi sangat penting. Konsumen dan pelaku usaha harus terbuka dan transparan. Klausul yang tertuang maupun tidak, harus transparan," jelas dia.

Soal argumentasi Manulife yang menolak klaim ahli waris karena ada ketidakbenaran data dalam formulir pengajuan polis, seharusnya itu tidak boleh terjadi. Apalagi si pemegang polis sudah meninggal dunia sejak 2016.

"Memang, konsumen harus memiliki itikad baik dalam mengisi data saat pengajuan polis. Tetapi, perusahaan asuransi kan diwajibkan mendeteksi keganjilan, memverfikasi dan melakukan penilaian sebelum menerbitkan polis," tegasnya.

Mustafa menganggap sengketa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan ahli waris bernama Johan Solomon masuk dugaan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen.

"Kita lihat lagi apakah ada pelangaran terhadap ketentuan, pelanggaran pelaku usaha, dan menyinggung klausul baku. Tiga itu ada nuansa pidananya. Saya rasa ini masuk UU Perlindungan Konsumen. Itu sudah jadi tugas kepolisian dan penyidik untuk menangani," ucap Mustafa.

Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Ekonomi PT Sara Lee Indonesia          
Perusahaan besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10). Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah. Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia. 

Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang rendah. Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan, Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda, Lombok dan Aceh. Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah untuk Indonesia.” “Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut namanya. Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak dikabulkan,” sambungnya. Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja. 

Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu. Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo. Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan. Kesimpulan : Menurut saya, Manajemen PT. Saralee harus berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee.

REFERENSI